Blue Spinning Frozen Snowflake

Sabtu, 14 November 2015

Polemik Pemilu di Indonesia

Tema : Warganegara dan Negara



Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004. pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum. Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali.

Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.

Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).

Berbicara dan membahas mengenai politik bagi sebagian orang orang atau kalangan bukan hal yang asing terutama yang memang secara langsung mempelajari atau bahkan terjun langsung di dalamnya. Di dalam politik terdapat beberapa macam kegiatan sperti sosialisasi poltik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan mobilisasi politik. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mendukung berjalan baiknya kegiatan tersebut.
Namun dalam makalah ini kami akan membahas mengenai partisipasi politik. Dalam partisipasi politik ini harus adanya sebuah sosialisasi politik dengan baik. Jka hal ini tidak terlaksana dengan baik sudah bisa dipastikan proses partisipasi politik tidak akan berjalan baik.
Sudah menjadi hal yang lumrah (biasa) ketika masa Pemilihan Umum (Pemilu) baik daerah ataupun Negara banyak para calon pemimpin kita berlomba-lomba merebut hati rakyat. Banyak cara yang dilakukan para calon pemimpin untuk merebut hati rakyatnya. Seperti melakukan kampanye, terjun langsung kelapangan agar merasa dekat dan diakui kehadirannya sebagai calon pemimpin dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun hal ini tidak didukung dengan pengetahuan dan kesadaran warganya akan apa arti dari politik itu sendiri baik dalam keilmuan maupun dalam hal benefit pada pembangunan negara. Terlebih di Indonesia tidak sedikit warganya yang membenci politik karena memandang bahwa politik hanya di jadikan sarana merauk keuntungan bagi kalangan tertentu yang sama sekali tidak tersentuh oleh orang-orang kecil (warga biasa dengan tingkat ekonomi di baah rata-rata).
Maka tidak hayal banyak oknum-oknum tertentu memanfaatkan kurangnya pengetahuan akan politik dan pandangan-pandangan negatif terhadap politik dengan cara tidak sehat. Yang kemudian menjadi sebab partisipasi politik pun berjalan dengan tidak sehat.
Seakan sudah menjadi rahasia umum jika banyak para oknum agar mereka terpilih sebagai pejabat baik legislatif maupun eksekutif dengan menggunakan cara yang tidak baik seperti money politic dan lain-lain.Inilah yang mengakibatkan Perpolitikan Indonesia tidak stabil karena memang dihuni oleh orang-orang (oknum) yang memang tidak memahami dengan baik pa yang di maksud dengan arti politik secara hakiki.
Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan partisipasi langsung dari orang-orang awam politik banyak diperjualbelikan (Money politic=Serangan fajar). selain masalah money Politic kurang berjalan dengan baiknya partisipasi politik secara merata juga disebabkan karena faktor geografis seperti orang-orang pedalaman yang memang sangat sulit untuk mendapatkan informasi tentang politik bahkan sampai tidak tersentuh/terdata oleh pihak penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum – KPU). Ini lah yang akan dibahas yaitu mengapa partisipasi politik tidak dapat berjalan dengan baik?

Contoh kasus
Sidang perdana kasus money politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Palopo bulan Maret yang lalu, dengan terdakwa Herman Selebes digelar di Pengadian Negeri (PN) kelas IB Palopo, Rabu (15/5/13). agenda sidnag yakni pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Palopo, Ashari Syam.
Dua orang saksi yakni Debora dan Damari, warga Kelurahan Pattene, Kota Palopo membeberkan kasus money politik yang dilakukan terdakwa Herman Selebes. dihadapan majelis hakim yang diketuai Ahmad Ismail, Debora dan Damari menyebutkan jika dirinya diberikan uang oleh Herman Selebes senilai Rp 150 ribu dengan imbalan harus memilih kandidat Wali Kota nomor urut satu.
“Kami memang menerima uang dari Herman, nilainya Rp 150, tapi kami diminta agar mencoblos calon Wali Kota nomor urut 1,” kata Damari, yang dibenarkan oleh rekannya, Debora, saat ditanya majelis hakim.
Sementara itu, Herman Selebes, tidak membantah semua keterangan saksi. Herman juga membenarkan jika uang tersebut diberikan kepada beberapa orang warga di Jl Muhammad Kasim dengan maksud agar memilih wali Kota sesua arahannya.
“Memang benar semua keterangan yang disebutkan saksi,” kata Herman.
Namun, Herman tidak menyebutkan siapa oknum yang memerintahkan untuk membagikan uang tersebut. atas perbuatannya itu, Herman dijerat pasal 117 , Undang-Undang Otonomi Daerah dengan ancaman maksimal satu tahun penjara, denda Rp 10 juta.
sidang selanjutnya akan digelar tanggal 27 Mei dengan agenda masih pemeriksaan saksi. kali ini, JPU akan menghadirkan saksi dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Palopo.(*)
Berbagai bentuk partisipasi politik tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara lain:
  1. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
  2. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
  3. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
  4. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagai

Kelemahan Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money Politic
1.   Money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek  money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat.
2.   Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic.  Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut,  namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
3.   Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya sulit dan pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para pelaku praktek money politik.
4.   Pelaku praktek money politic ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan prakteknya tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka terjadi penyelewengan kekuasaan seperti eksploitasi Anggaran belanja, kapitalisasi kebijakan, dan eksploitasi sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya besar pada saat pelaku money politik itu melakukan kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang terkadang menyalahi aturan UU yang berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan kampanye, kampaye ini memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak yang membantu pendanaan dalam melakukan kampanye suatu partai atau perorangan, namun hal ini terkadang bisa di sebut suatu penyuapan politik.
5.    Pihak-pihak yang memberikan pendanaan biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau perorangan tersebut terpilih dan memegang kekuasaan. Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut. Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat memengaruhi hasil pemilu karena aturan yang tidak tegas bahkan petinggi negara seperti badan legislative, eksekutif, dan yudikatif beberapa diantaranya bisa di suap sehingga petinggi negara yang memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah dapat menetapkan kebijakan-kebijakan atau melakukan kecurangan yang menguntungkan pihak yang memiliki banyak uang tesebut.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak melakukan money politic. Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan indikator penting untuk  memudarkan berkembangnya praktek money politic  karena sebagian besar masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari efek yang timbul di masa depan. Praktek money politic dapat menghancurkan masa depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup menguras keuangan suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada pemilu sehingga setelah terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak  korupsi. Para pelaku praktek money politic ini memanfaatkan situasi perekonomian rakyat yang semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah tergiur dengan keuntungan yang diterima sementara ini.
Calon pemimpin yang melakuan money politic tentu tidak berlaku jujur sehingga sebagai masyarakat yang cerdas jangan mau di pimpin oleh seseorang yang budi pekertinya tidak baik. Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politc kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat. Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih.
Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi. Pemerintah juga harus lebih giat memberikan sosialisasi kepada kandidat yang akan di pilih oleh rakyat untuk mengutamakan moralitas politik sehingga dapat berlaku jujur dengan tidak melakukan praktek money politic.

Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Faktor Pendorong munculnya suap pilkada
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar basa-basi guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian, kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak diikuti dengan sanksi yang tegas jika partai politik tidak melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa proses seleksi calon perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair? Persoalan ini merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada langsung.
Tidak hanya dalam masalah sanksi, ketentuan yang ada tidak melarang kemungkinan terjadinya praktik suap dalam seleksi calon kepala daerah. Artinya, dengan adanya keharusan partai politik menjadi satu-satunya pintu yang dapat digunakan untuk menjadi calon kepala daerah, yang terancam bukan hanya pemilihan umum yang demokratis tetapi terbukanya kemungkinan terjadinya praktik suap besar-besaran dalam proses pengajuan pasangan calon. Bisa jadi, semakin besar persentase jumlah kursi partai politik, bandrol yang ditawarkan juga akan semakin tinggi. Ibarat sebuah tender terbuka, kata Teten Masduki, pembelian suara biasanya akan dimenangkan oleh the highest bidder (Kompas, 11/2).
Celakanya lagi, Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No 6/2005 tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Dengan definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk terjadinya konflik. Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai pendukung kuat pun harus melalui pintu parpol, bisa timbul masalah jika keinginan tersebut ternyata tidak diakomodasi oleh parpol yang ada. Elite parpol yang berpikir pragmatis tentunya tidak akan dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader partainya. Selain itu, polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik. Jika keragaman parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat datangnya rezim monolitik itu.
Konflik dalam pengertian longgar, yakni perbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan potensi konflik tinggi. Masalahnya bukan saling menyalahkan karena perbedaan asal-usul, tetapi bagaimana mengelola perbedaan secara arif sehingga bisa menjadi modal sosio-kultural yang memperkokoh ikatan kebangsaan, tata-pemerintahan, dan sistem demokratis.
Dalam konteks memenuhi right to be candidate, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis? Dengan rentang waktu yang tersisa, partai politik seharusnya melakukan terobosan guna membuka kesempatan bagi orang-orang terbaik (baik kader partai maupun calon perseorangan) bersaing dalam seleksi internal partai politik. Kemudian, juga harus ada sikap bersama partai politik untuk mengharamkan praktik suap dalam mencari calon kepala daerah.


Tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.
Pertama, belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.
Kedua, pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
Ketiga, pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.
Keempat, menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP), terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.
Kelima, tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan sebagai sumbangan perseorangan.
Keenam, karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15 hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit oleh KAP.
Ketujuh, KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain dan para pemilih secara tidak adil.
Banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan sulitnya sumber dana kampanye dilacak KPUD. Apalagi, di dalam Peraturan Pemerintah No 6/2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD. Pasal 65 Ayat 6 PP No 6/2005 menyebutkan, sumbangan dana kampanye dilaporkan dan disampaikan pasangan calon kepada KPUD setelah diaudit kantor akuntan publik dalam waktu satu hari sebelum masa kampanye dimulai dan satu hari sesudah masa kampanye berakhir.

Bagi daerah yang sedang (dan akan) melakukan Pilkada, amat tepat bila KPUD menciptakan aturan hukum berupa Keputusan KPUD yang dapat mengurangi suap, seperti transparansi pencalonan dan penjaringan di tingkat partai politik dan pengaturan yang lebih jelas masalah dana kampanye.
Upaya mengatasi suap pada pilkada tidak saja menjadi peran dari para aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika ini. Dibutuhkan peran semua pihak, khususnya dalam pihak-pihak yang berwenang dalam merumuskan sistem dan aturan hukum Pilkada yang dapat meminimalisir terjadinya suap.

Sumber :