Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan
untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah
amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung
oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum.
Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu
2004. pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim
pemilihan umum. Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk
kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan
lima tahun sekali.
Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat
berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya.
Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu
adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada
negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat
duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan
pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.
Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah
partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan
mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya
berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah
pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member
constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan
proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).
Berbicara dan membahas mengenai politik bagi sebagian orang
orang atau kalangan bukan hal yang asing terutama yang memang secara langsung
mempelajari atau bahkan terjun langsung di dalamnya. Di dalam politik terdapat
beberapa macam kegiatan sperti sosialisasi poltik, partisipasi politik,
rekrutmen politik, komunikasi politik dan mobilisasi politik. Semua kegiatan
tersebut dilaksanakan untuk mendukung berjalan baiknya kegiatan tersebut.
Namun dalam makalah ini kami akan membahas mengenai partisipasi politik. Dalam
partisipasi politik ini harus adanya sebuah sosialisasi politik dengan baik.
Jka hal ini tidak terlaksana dengan baik sudah bisa dipastikan proses
partisipasi politik tidak akan berjalan baik.
Sudah menjadi hal yang lumrah (biasa) ketika masa Pemilihan Umum (Pemilu) baik
daerah ataupun Negara banyak para calon pemimpin kita berlomba-lomba merebut
hati rakyat. Banyak cara yang dilakukan para calon pemimpin untuk merebut hati
rakyatnya. Seperti melakukan kampanye, terjun langsung kelapangan agar merasa
dekat dan diakui kehadirannya sebagai calon pemimpin dan kegiatan-kegiatan
lainnya. Namun hal ini tidak didukung dengan pengetahuan dan kesadaran warganya
akan apa arti dari politik itu sendiri baik dalam keilmuan maupun dalam hal
benefit pada pembangunan negara. Terlebih di Indonesia tidak sedikit warganya
yang membenci politik karena memandang bahwa politik hanya di jadikan sarana
merauk keuntungan bagi kalangan tertentu yang sama sekali tidak tersentuh oleh
orang-orang kecil (warga biasa dengan tingkat ekonomi di baah rata-rata).
Maka tidak hayal banyak oknum-oknum tertentu memanfaatkan kurangnya pengetahuan
akan politik dan pandangan-pandangan negatif terhadap politik dengan cara tidak
sehat. Yang kemudian menjadi sebab partisipasi politik pun berjalan dengan
tidak sehat.
Seakan sudah menjadi rahasia umum jika banyak para oknum agar mereka terpilih
sebagai pejabat baik legislatif maupun eksekutif dengan menggunakan cara yang
tidak baik seperti money politic dan lain-lain.Inilah yang mengakibatkan
Perpolitikan Indonesia tidak stabil karena memang dihuni oleh orang-orang
(oknum) yang memang tidak memahami dengan baik pa yang di maksud dengan arti
politik secara hakiki.
Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan partisipasi langsung dari orang-orang awam
politik banyak diperjualbelikan (Money politic=Serangan fajar). selain
masalah money Politic kurang berjalan dengan baiknya partisipasi politik
secara merata juga disebabkan karena faktor geografis seperti orang-orang
pedalaman yang memang sangat sulit untuk mendapatkan informasi tentang politik
bahkan sampai tidak tersentuh/terdata oleh pihak penyelenggara pemilu (Komisi
Pemilihan Umum – KPU). Ini lah yang akan dibahas yaitu mengapa partisipasi
politik tidak dapat berjalan dengan baik?
Contoh kasus
Sidang perdana kasus money politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada)
Kota Palopo bulan Maret yang lalu, dengan terdakwa Herman Selebes digelar di
Pengadian Negeri (PN) kelas IB Palopo, Rabu (15/5/13). agenda sidnag yakni
pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari
Palopo, Ashari Syam.
Dua orang saksi yakni Debora dan Damari, warga Kelurahan Pattene, Kota Palopo
membeberkan kasus money politik yang dilakukan terdakwa Herman Selebes.
dihadapan majelis hakim yang diketuai Ahmad Ismail, Debora dan Damari
menyebutkan jika dirinya diberikan uang oleh Herman Selebes senilai Rp 150 ribu
dengan imbalan harus memilih kandidat Wali Kota nomor urut satu.
“Kami memang menerima uang dari Herman, nilainya Rp 150, tapi kami diminta agar
mencoblos calon Wali Kota nomor urut 1,” kata Damari, yang dibenarkan oleh
rekannya, Debora, saat ditanya majelis hakim.
Sementara itu, Herman Selebes, tidak membantah semua keterangan saksi. Herman
juga membenarkan jika uang tersebut diberikan kepada beberapa orang warga di Jl
Muhammad Kasim dengan maksud agar memilih wali Kota sesua arahannya.
“Memang benar semua keterangan yang disebutkan saksi,” kata Herman.
Namun, Herman tidak menyebutkan siapa oknum yang memerintahkan untuk membagikan
uang tersebut. atas perbuatannya itu, Herman dijerat pasal 117 , Undang-Undang
Otonomi Daerah dengan ancaman maksimal satu tahun penjara, denda Rp 10 juta.
sidang selanjutnya akan digelar tanggal 27 Mei dengan agenda masih pemeriksaan
saksi. kali ini, JPU akan menghadirkan saksi dari Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) Kota Palopo.(*)
Berbagai bentuk partisipasi politik
tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara
lain:
- Terbentuknya
organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian
dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut
menentukan kebijakan negara.
- Lahirnya lembaga swadaya
masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap
kebijakan pemerintah.
- Lahirnya lembaga swadaya
masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap
kebijakan pemerintah.
- Munculnya kelompok-kelompok
kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada
pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan
sebagai
Kelemahan Sistem Pemilu yang
Memberikan Peluang Money Politic
1. Money
politic (politik
uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau
memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut
dalam pemilu, padahal praktek money politic merupakan praktek yang
sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang dalam
memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money
politic ini menjamur luas di masyarakat.
2. Maraknya
praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam
mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic
ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak
hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic.
Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data
untuk membuktikan sumber praktek tersebut, namun ironisnya praktek money
politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya
Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda
dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
3. Hambatan
terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih
tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut
menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan
terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini
banyak muncul kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga
peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan
tujuan Pilkada langsung. Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu
di Indonesia yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang
kondisi ekonominya sulit dan pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi
sasaran empuk para pelaku praktek money politik.
4. Pelaku
praktek money politic ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
dalam menjalankan prakteknya tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan
maka terjadi penyelewengan kekuasaan seperti eksploitasi Anggaran belanja,
kapitalisasi kebijakan, dan eksploitasi sumber daya yang ada sebagai
timbal-balik atas biaya besar pada saat pelaku money politik itu
melakukan kampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenai keputusan Mahkamah
Konstitusi dalam menyelesaikan masalah-masalah di pemilu yang terkadang
menyalahi aturan UU yang berlaku. Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan
kampanye, kampaye ini memerlukan dana yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak
yang membantu pendanaan dalam melakukan kampanye suatu partai atau perorangan,
namun hal ini terkadang bisa di sebut suatu penyuapan politik.
5. Pihak-pihak
yang memberikan pendanaan biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau
perorangan tersebut terpilih dan memegang kekuasaan. Misalnya, anggota
legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak
pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan
dalam kampanye tersebut. Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat
memengaruhi hasil pemilu karena aturan yang tidak tegas bahkan petinggi negara
seperti badan legislative, eksekutif, dan yudikatif beberapa diantaranya bisa
di suap sehingga petinggi negara yang memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah
dapat menetapkan kebijakan-kebijakan atau melakukan kecurangan yang
menguntungkan pihak yang memiliki banyak uang tesebut.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak
menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga
harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan
apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic
dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan
khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan
terutama untuk tidak melakukan money politic. Sebaiknya secara
transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak
yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai
suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya
kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari
tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota
legislative yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak
pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan
dalam kampanye tersebut.
Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan indikator penting untuk
memudarkan berkembangnya praktek money politic karena sebagian
besar masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari efek yang
timbul di masa depan. Praktek money politic dapat menghancurkan masa
depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup menguras keuangan
suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada pemilu sehingga setelah
terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak korupsi. Para pelaku
praktek money politic ini memanfaatkan situasi perekonomian rakyat yang
semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah tergiur dengan keuntungan yang
diterima sementara ini.
Calon pemimpin yang melakuan money politic tentu tidak berlaku jujur
sehingga sebagai masyarakat yang cerdas jangan mau di pimpin oleh seseorang
yang budi pekertinya tidak baik. Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin
akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya
pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politc
kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi
secara langsung meningkat. Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik
kepada masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif
dalam memilih.
Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan
hati nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan
demokrasi. Pemerintah juga harus lebih giat memberikan sosialisasi kepada
kandidat yang akan di pilih oleh rakyat untuk mengutamakan moralitas politik
sehingga dapat berlaku jujur dengan tidak melakukan praktek money politic.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang
berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan
komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga
negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur
17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh
penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar
sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya
memilih calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih di
PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal,
pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya yang alamatnya sesuai dengan
alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk
ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih warga sudah seharusnya di junjung tinggi
dalam pelaksanaan pemilu, tidak seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak
pilihnya. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar
(basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD
1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Faktor Pendorong munculnya suap
pilkada
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar basa-basi
guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian, kewajiban untuk
memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak diikuti dengan sanksi yang
tegas jika partai politik tidak melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa
proses seleksi calon perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai
politik. Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan
internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair? Persoalan ini
merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada langsung.
Tidak hanya dalam masalah sanksi, ketentuan yang ada tidak melarang kemungkinan
terjadinya praktik suap dalam seleksi calon kepala daerah. Artinya, dengan
adanya keharusan partai politik menjadi satu-satunya pintu yang dapat digunakan
untuk menjadi calon kepala daerah, yang terancam bukan hanya pemilihan umum
yang demokratis tetapi terbukanya kemungkinan terjadinya praktik suap
besar-besaran dalam proses pengajuan pasangan calon. Bisa jadi, semakin besar
persentase jumlah kursi partai politik, bandrol yang ditawarkan juga akan
semakin tinggi. Ibarat sebuah tender terbuka, kata Teten Masduki, pembelian
suara biasanya akan dimenangkan oleh the highest bidder (Kompas, 11/2).
Celakanya lagi, Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No 6/2005
tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara
implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon
dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau
tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai
pasangan calon oleh DPRD. Dengan definisi seperti itu sulit diaplikasikan di
lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan
diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang memenuhi
persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk terjadinya konflik.
Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai pendukung kuat pun harus melalui
pintu parpol, bisa timbul masalah jika keinginan tersebut ternyata tidak
diakomodasi oleh parpol yang ada. Elite parpol yang berpikir pragmatis tentunya
tidak akan dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader
partainya. Selain itu, polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik.
Jika keragaman parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan
parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul
kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat datangnya
rezim monolitik itu.
Konflik dalam pengertian longgar, yakni perbedaan sosio-kultural, politik, dan
ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa
dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi
bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling
tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan
potensi konflik tinggi. Masalahnya bukan saling menyalahkan karena perbedaan
asal-usul, tetapi bagaimana mengelola perbedaan secara arif sehingga bisa
menjadi modal sosio-kultural yang memperkokoh ikatan kebangsaan,
tata-pemerintahan, dan sistem demokratis.
Dalam konteks memenuhi right to be candidate, apa yang harus dilakukan
untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis? Dengan rentang waktu
yang tersisa, partai politik seharusnya melakukan terobosan guna membuka
kesempatan bagi orang-orang terbaik (baik kader partai maupun calon
perseorangan) bersaing dalam seleksi internal partai politik. Kemudian, juga
harus ada sikap bersama partai politik untuk mengharamkan praktik suap dalam
mencari calon kepala daerah.
Tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.
Pertama, belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus
di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan
disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan
secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening
Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh
transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini,
KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran
harus tercatat dalam rekening khusus.
Kedua, pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah
menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk
keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU
sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon
melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang
dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima
dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam
rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang
tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut
dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga
melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
Ketiga, pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan
melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah
kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang
sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima
dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye.
KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim
kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.
Keempat, menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon
merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP),
terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan
dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga
mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk
pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota)
mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun
nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.
Kelima, tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber
sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik
yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum swasta. Bila
sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan menjual barang
tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan
sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun
dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan.
Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan
perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat
dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok
orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim
kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu
mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan
barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha
walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa
penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan
sebagai sumbangan perseorangan.
Keenam, karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15
hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan,
terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan
kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila
memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP
untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi
dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada,
dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan
sebagai bahan audit oleh KAP.
Ketujuh, KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi
kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan
pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila
pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari
pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain
dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan
lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan
pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau
materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi
pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan
membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan
kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak
memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang
melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila
kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam
peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah
disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas
maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain
dan para pemilih secara tidak adil.
Banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan
sulitnya sumber dana kampanye dilacak KPUD. Apalagi, di dalam Peraturan
Pemerintah No 6/2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang
tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD. Pasal 65 Ayat 6 PP
No 6/2005 menyebutkan, sumbangan dana kampanye dilaporkan dan disampaikan
pasangan calon kepada KPUD setelah diaudit kantor akuntan publik dalam waktu
satu hari sebelum masa kampanye dimulai dan satu hari sesudah masa kampanye
berakhir.
Bagi daerah yang sedang (dan akan)
melakukan Pilkada, amat tepat bila KPUD menciptakan aturan hukum berupa
Keputusan KPUD yang dapat mengurangi suap, seperti transparansi pencalonan dan
penjaringan di tingkat partai politik dan pengaturan yang lebih jelas masalah
dana kampanye.
Upaya mengatasi suap pada pilkada
tidak saja menjadi peran dari para aparat penegak hukum untuk mengatasi
problematika ini. Dibutuhkan peran semua pihak, khususnya dalam pihak-pihak
yang berwenang dalam merumuskan sistem dan aturan hukum Pilkada yang dapat
meminimalisir terjadinya suap.
Sumber :