Blue Spinning Frozen Snowflake

Minggu, 05 Juni 2016

Kasus Hak Merek Motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma

Merk Merupakan suatu tanda yang berupa gambar atau huruf yang berada dalam suatu produk, terdiri dari warna-warna yang beraneka ragam dengan tujuan agar dapat menarik perhatian konsumen dan meraih keuntungan maksimal. Merek tersebut digunakan di pasaran dalam sistem perdagangan baik berupa barang maupun jasa.
Fungsi dari merek dapat dikatakan sebagai pemberitahu dan pembanding produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan atau seseorang dengan produk dari perusahaan lain atau orang lain. Dapat dikatakan pula fungsi dari merek adalah sebagai jaminan mutu produk tersebut terutama dari segi kualitasnya. Oleh karena itu agar kepemilikan dan merek tersebut diakui oleh konsumen, maka dibutuhkan suatu hak merek agar tidak mudah di salah gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti menduplikasi merek tersebut dengan merubah beberapa kata dari merek tersebut tetapi jenis produk sama ataupun sebaliknya.
Kasus merek di Indonesia banyak terjadi baik bidang industri. Kasus-kasus tersebut bahkan ada yang menuai kontroversi dan ada yang masih saat ini tetap beredar di pasaran. Penulisan ini saya akan membahas salah satu contoh kasus merek yang beredar di pasaran, beserta analisis dan contoh-contoh lainnya.
1. Kasus sengketa sepeda motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma
Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama antara Krisma dan Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma diproduksi oleh PT.Tossa Sakti, sedangkan Honda Karisma diproduksi oleh PT.Astra Honda Motor. PT.Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT.Astra Honda Motor (AHM), karena PT.AHM perusahaan yang mampu memproduksi 1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT.Tossa Sakti pada motor Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di Jakarta.
Permasalahan kasus ini tidak ada hubungan dengan pemroduksian, tetapi masalah penggunaan nama Karisma oleh PT.AHM. Sang pemilik merek dagang Krisma (Gunawan Chandra), mengajukan gugatan kepada PT.AHM atas merek tersebut ke jalur hukum. Menurut beliau, PT.AHM telah menggunakan merek tersebut dan tidak sesuai dengan yang terdaftar di Direktorat Merek Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Bahkan PT.AHM diduga telah menggunakan merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huru Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.AHM memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana.
Akhirnya permohonan Gunawan Chandra dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga Negeri.
Namun, PT.AHM tidak menerima keputusan dari hakim pengadilan, bahkan mengajukan keberatan melalui kasasi ke Mahkamah Agung. PT.AHM menuturkan bahwa sebelumnya Gunawan Chandra merupakan pihak ketiga atas merek tersebut. Bahkan, beliau menjiplak nama Krisma dari PT.AHM (Karisma) untuk sepeda motornya. Setelah mendapat teguran, beliau membuat surat pernyataan yang berisikan permintaan maaf dan pencabutan merek Krisma untuk tidak digunakan kembali, namun kenyataannya sampai saat ini beliau menggunakan merek tersebut.
Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT.Tossa Sakti (Gunawan Chandra) memenangkan kasus ini, sedangkan pihak PT.AHM merasa kecewa karena pihak pengadilan tidak mempertimbangkan atas tuturan yang disampaikan. Ternyata dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT.AHM, yaitu masalah desain huruf pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut tidak dilindungi hukum.
Dari kasus tersebut, PT.AHM dikenakan pasal 61 dan 63 Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang merek sebagai sarana penyelundupan hukum. Sengketa terhadap merek ini terjadi dari tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2011, hal ini menyebabkan penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen. Kini, PT.AHM telah mencabut merek Karisma tersebut dan menggantikan dengan desain baru yaitu Honda Supra X dengan bentuk hampir serupa dengan Honda Karisma.

Sumber :

Kasus Hak Merk Tupperware VS Tulipware Bandung

DART INDUSTRIES INC., Amerika Serikat adalah perusahaan yang memproduksi berbagai jenis alat-alat rumah tangga, di antaranya yaitu ember, panci, toples dan botol, sisir-sisir dan bunga-bunga karang, sikat-sikat, perkakas-perkakas kecil dan wadah-wadah kecil yang dapat dibawa untuk rumah tangga dan dapur dari plastik untuk menyiapkan, menyajikan dan menyimpan bahan makanan, gelas-gelas minum, tempayan, tempat menyimpan bumbu, wadah-wadah untuk lemari es dan tutup daripadanya, wadah-wadah untuk roti dan biji-bijian dan tutup daripadanya, piring-piring dan tempat untuk menyajikan makanan, cangkir-cangkir, priring-piring buah-buahan dan
tempat-tempat tanaman untuk tanaman rumah dan main-mainan untuk anak-anak dengan berbagai jenis desain yang terbuat dari plastik yang bermutu tinggi. Merek TUPPERWARE sudah terdaftar di Indonesia dibawah no. pendaftaran 263213, 300665, 300644, 300666, 300658, 339994, 339399 untuk jenis-jenis barang seperti tersebut diatas, sedangkan merek TULIPWARE baru mengajukan permintaan pendaftaran merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Produk produk rumah tangga yang diproduksi oleh DART INDUSTRIES INC. telah dipasarkan di lebih dari 70 negara dengan memakai merek TUPPERWARE. TUPPERWARE juga telah dipasarkan di luas di Indonesia melalui Distributor Nasional sekaligus penerima lisensi, yakni PT. IMAWI BENJAYA.
PT. IMAWI BENJAYA selaku Distributor Nasional sekaligus penerima lisensi produk TUPPERWARE di Indonesia, menemukan produk-produk dengan menggunakan desain-desain yang sama dengan disain-disain produk-produk TUPPERWARE yang menggunakan merek TULIPWARE yang diproduksi oleh CV. CLASSIC ANUGRAH SEJATI yang berlokasi di Bandung.
Bentuk Pelanggaran :
Dengan membadingkan antara produk-produk yang menggunakan merek TUPPERWARE dan produk-produk dengan merek TULIPWARE, maka terlihat secara jelas bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang memproduksi produk TULIPWARE, sebagai berikut :
  1. Terdapat persamaan pada pokoknya antara merek TULIPWARE dengan TUPPERWARE untuk produk-produk yang sejenis
  1. Penempatan merek pada bagian bawah wadah dan bentuk tulisan yang sama lebih dominan, sehingga menonjolkan unsur persamaan dibandingkan perbedaannya. Keberadaan produk-produk sejenis yang menggunakan merek TUPPERWARE dan TULIPWARE membingungkan dan mencaukan konsumen mengenai asal-usul barang.
  1. Merek TULIPWARE yang dipergunakan pada barang-barang berbeda dengan etiket merek yang diajukan permohonannya pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Catatan :
DART INDUSTRIES INC. selaku pemilik merek telah memasang iklan pengumuman di beberapa surat kabar, untuk mengingatkan kepada konsumen tentang telah beredarnya produk-produk TULIPWARE, yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan produk-produk TUPPERWARE.
Kesimpulan :
Kasus tersebut sebaiknya diselesaikan dengan beberapa undang-undang yang telah ada. CV. CLASSIC ANUGRAH SEJATI sebaiknya juga tidak melakukan plagiat akan merek TULIPWARE yang merupai merk TUPPERWARE. Maka dari itu, berikut ini merupakan beberapa undang-undang yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus hak merek tersebut :
1. Pasal 90, UU No. 15 tahun 2001 :
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada kesluruhnnya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang di produksi dan atau di perdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Dan atau denda paling banyak Rp1 M.”
2. Pasal 91, UU No. 15 tahun 2001:
“ Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek yang terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa yang di produksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp.800 juta.”

3. Pasal 92, (1), UU No. No. 15 tahun 2001:
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 Tahun dan atau denda paling banyak Rp1 M.”
4. Pasal 92, (2), UU No. No. 15 Tahun 2001:
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp800 Juta.”
5. Pasal 93,UU No. No. 15 Tahun 2001:
“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp800 juta.”
6. Pasal 94, UU No. 15 Tahun 2001:
“Barang siapa memperdagangkan barang dan atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 90, 91, 92, dan 93 dipidana kurungan  paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp200 Jt.”
Sumber :

Selasa, 26 April 2016

Kasus Hak Paten Mesin Motor Bajaj Ditolak di Indonesia

Paten adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada penemu atas hasil temuannya di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut untuk memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melakukannya(UU No. 6 tahun 1989)1 . Pemegang hak paten adalah seorang inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dan terdaftar dalam Daftar Hak Paten. Hak paten diatur dalam Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2001 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten). Saat ini, banyak kasus pelanggaran paten khususnya di bidang industri. Hal tersebut disebabkan karena banyak sekali produk-produk yang beredar bebas dan sudah dikenal oleh masyarakat, sehingga ada upaya peniruan oleh pihak lain untuk memperoleh posisi pasar yang sama dengan produk aslinya, dan tentu untuk memperoleh hasil penjualan yang baik atas produknya.
Mengenai subjek paten pasal 10 UU paten No. 14 tahun 2001 menyebutkan sebagai berikut:
Yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.
Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atau invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
Dalam pasal 11 UU No. 14 tahun 2001 disebutkan; “Kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor adalah seseorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagi inventor dalam permohonan.
 Contoh Kasus
Motor Bajaj melintasi jalanan Jakarta. Iklannya pun wara- wiri di berbagai media. Namun siapa sangka, hak paten teknologi mesin motor kebanggaan masyarakat India ini menjadi masalah di Indonesia.
Bajaj Auto Limited sebagai produsen motor Bajaj menggugat Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Sebab, permohonan paten untuk sistem mesin pembakaran dalam dengan prinsip empat langkah ditolak dengan alasan sudah dipatenkan terlebih dahulu oleh Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha.
Kasus tersebut bermula ketika Ditjen Haki menolak permohonan pendaftaran paten Bajaj pada 30 Desember 2009 dengan alasan ketidakbaruan dan tidak mengandung langkah inventif. Atas penolakan tersebut, Bajaj Auto mengajukan banding ke Komisi Banding Paten. Namun Komisi Banding dalam putusannya pada 27 Desember 2010 sependapat dengan Direktorat Paten sehingga kembali menolak pendaftaran paten tersebut.
Ditjen HAKI punya catatan tersendiri sehingga menolak permohonan paten ini yaitu, sistem ini telah dipatenkan di Amerika Serikat atas nama Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha dengan penemu Minoru Matsuda pada 1985. Lantas oleh Honda didaftarkan di Indonesia pada 28 April 2006. Namun dalih ini dimentahkan oleh Bajaj.
Bajaj merupakan perusahaan yang berdiri sejak 1926. Perusahaan ini bergerak di berbagai sektor industri seperti kendaraan roda dua, kendaraan roda tiga dengan berbasis pada ilmu pengetahuan yang telah beroperasi dilebih dari 50 negara antara lain Amerika Latin dan Afrika.

Saran
            Menurut saya berdasarkan  kasus diatas bahwa Pihak Bajaj Auto Limited sebagai produsen motor Bajaj dari negara india yang sudah berdiri sejak tahun 1926, terlambat mematenkan hasil karya motor bajaj ke ditjen HAKI. Sehingga penemu lainnya mematenkan terlebih dahulu atas nama Honda Giken Kogya Kabushiki Kaisha dengan penemu Minoru Matsuda pada 1985. Jadi, dari permasalahan yang terjadi bahwa terdapat perihal pihak mana yang terlebih dahulu mematenkan penemuannya, sehingga siapapun pihak yang pertama kali mendaftarkan di Ditjen HAKI adalah pihak yang memiliki kekuatan hak paten yang sah dan tak bisa diganggu gugat. Hal tersebut juga sebaiknya dapat menjadi pelajaran berharga untuk produsen bajai negara India agar terlebih dahulu mematenkan produk tersebut dan tidak diambil produk patennya oleh perusahaan lain.

Sumber :
https://ratuhermikusumah.wordpress.com/2015/04/19/contoh-kasus-hak-paten/

Kasus Hak Paten Sengketa Atas Merek Lotto

Sebagaimana negara-negara yang berdasarkan pada hukum, Indonesia sebagai salah satunya juga memiliki undang-undang perlindungan HAKI (Harta Atas Kekayaan Intelektual) yang mencakup UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No.6 tahun 1989 tentang hak paten. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Paten adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada penemu atas hasil temuannya di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut untuk memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melakukannya(UU No. 6 tahun 1989)1 . Pemegang hak paten adalah seorang inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dan terdaftar dalam Daftar Hak Paten. Hukum tentang Merek ini sekiranya cukup untuk melindungi merek suatu produk atau jasa dari pihak-pihak yang beritikad tidak baik.
Namun dalam praktiknya hukum yang mengatur tentang merek dan hak paten ini tak lepas dari persengketaan. Salah satunya adalah Sengketa Merek “LOTTO” oleh perusahaan Singapura dan pengusaha Indonesia yang akan dijabarkan dalam kasus ini.
Sengketa merk dan hak paten  antara Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd yang dimana adalah pemakai pertama merek “LOTTO” untuk barang-barang seperti pakaian jadi, kemeja, baju kaos, jaket, celana panjang, rok span, tas, koper, dompet, ikat pinggang, sepatu, sepatu olah raga, baju olah raga, kaos kaki olah raga, raket, bola jaring (net), sandal, selop, dan topi, dengan Hadi Darsono seorang pengusaha dari Indonesia yang produk handuk dan sapu tangannya yang juga menggunakan nama “LOTTO” sebagai merek. Merasa dirugikan akibat kesamaan merek perusahaan LOTTO Singapura pun membawa masalah persengketaan ini ke Pengadilan Negeri.

Hukum Paten
Mengenai subjek paten pasal 10 UU paten No. 14 tahun 2001 menyebutkan sebagai berikut:
Yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.
Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atau invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
Dalam pasal 11 UU No. 14 tahun 2001 disebutkan; “Kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor adalah seseorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagi inventor dalam permohonan.

 Hukum Merek
Undang-undang No. 21 Tahun 1961 Tentang Merek
Undang-undang No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek
Undang-undang No. 14 Tahun 1997 Tentang Merek
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Dalam UU No. 21 Tahun 1961 Pasal 2 :
(1) Hak khusus untuk memakai suatu merek guna memperbedakan barang-barang hasil perusahaan atau barang-barang peniagaan seseorang atau sesuatu badan dari barang-barang orang lain atau badan lain diberikan kepada barangsiapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk keperluan tersebut di atas di Indonesia. Hak khusus untuk memakai merek itu berlaku hanya untuk barang-barang yang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi merek itu dan berlaku hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.
(2) Kecuali jika ada bukti tentang hal sebaliknya, maka barangsiapa yang untuk pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran suatu merek menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 dan 5, dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut. Jika dalam waktu 6 bulan setelah pendaftaran tersebut diatas atau setelah pendaftaran termaksud dalam ayat 3, merek itu tidak dipakai oleh pemohon di Indonesia, maka anggapan tersebut di atas atau anggapan termaksud dalam ayat 3, tidak berlaku lagi.

Dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang berlaku pada saat ini, dijelaskan mengenai Merek yang tidak dapat didaftar dan harus ditolak, yakni:
Pasal 5
Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda;
c. telah menjadi milik umum; atau
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Pasal 6
(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal

Syarat dan Tata cara Permohonan Pendaftaran Merek menurut Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek terdapat pada pasal 7 yaitu :
1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan :
a. Tanggal, bulan, dan tahun;
b. Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;
c. Nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa;
d. Warna – warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur – unsur warna;
e. Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
2) Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.
3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya.
5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama – sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.
6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.
7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut.
8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.
9) Ketentuan mengenai syarat – syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.

Di dalam kasus “LOTTO” ini, “LOTTO” Singapura mempunyai bukti, bahwa mereka mempunyai nomor pendaftaran merek dari Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman ( bagian merek ) dengan pendaftaran No. 137430, dan bukti tersebut diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Yang dimana telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman ( bagian merek ) yaitu dengan memberikan nomor pendaftaran juga kepada “LOTTO” Indonesia.
Setelah pengajuan perkara “LOTTO” Singapura ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bukti kasus tersebut tidak kuat, akhirnya “LOTTO” Singapura mengajukan permohonan kasus kepada Mahkamah Agung. Tidak hanya menuntut “LOTTO” milik Hadi Darsono ( Tergugat I ), mereka juga menuntut Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman bagian merek ( Tergugat II ) karena telah lalai memberikan nomor pendaftaran merek kepada perusahaan yang namanya sama tetapi berbeda usaha barangnya setelah perusahaan pertama mendaftarkan mereknya kepada Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman.
Terdaftarnya suatu merek dagang pada Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman dapat dibatalkan oleh Hakim bilamana merek ini mempunyai persamaan baik dalam tulisan ucapan kata, maupun suara dengan merek dagang yang lain yang sudah terlebih dulu dipakai dan didaftarkan, walaupun kedua barang tersebut tergolong tidak sejenis terutama bila hal tersebut berkaitan dengan merek dagang yang sudah terkenal didunia internasional.
Mahkamah Agung konsisten pada putusannya dalam perkara merek terkenal Seven Up - LANVIN - DUNHILL: MA-RI No. 689 K/SIP/1983 dan MA-RI No. 370 K/SIP/1983, yang isinya sebagai berikut: Suatu pendaftaran merek dapat dibatalkan karena mempunyai persamaan dalam keseluruhan dengan suatu merek yang terdahulu dipakai atau didaftarkan, walaupun untuk barang yang tidak sejenis, terutama jika menyangkut merek dagang terkenal. Pengadilan tidak seharusnya melindungi itikad buruk Tergugat I. Tindakan Tergugat I, tidak saja melanggar hak Penggugat tetapi juga melanggar ketertiban umum di bidang perdagangan serta kepentingan khalayak ramai.
Setelah memeriksa perkara ini Mahkamah Agung dalam putusannya berpendirian bahwa judex facti salah menerapkan hukum, Pengadilan Negeri mengesampingkan kenyataan bahwa Penggugat adalah pemakai pertama dari merek LOTTO di Indonesia. Ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan perlindungan hukum menurut UU Merek No. 21 tahun 1961. Sementara itu, Tergugat I tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang sah dengan tidak dapat membuktikan keaslian bukti-bukti yang diajukannya.
Sehingga putusannya harus dibatalkan selanjutnya, Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Mahkamah Agung tersebut di dasari oleh alasan juridis yang intinya sebagai berikut
- Newk Plus Four Far East Ltd, Singapore telah mendaftarkan merek LOTTO di Direktorat Paten & Merek Departemen Kehakiman RI tanggal 29/6/1976 dan 4-3-1985.
- Merek “LOTTO” secara umum telah terkenal di kalangan masyarakat sebagai merek dagang dari luar negeri. Merek tersebut mempunyai ciri umum untuk melengkapi seseorang yang berpakaian biasa atau berkaitan olah raga beserta perlengkapannya.
- Merek “LOTTO”, yang didaftarkan Tergugat I adalah jenis barang handuk dan saputangan, pada 6 Oktober 1984.
- Mahkamah Agung berpendapat, walaupun barang yang didaftarkan Tergugat I berbeda dengan yang didaftarkan Penggugat, tetapi jenis barang yang didaftarkan Tergugat I tergolong perlengkapan berpakaian seseorang. Dengan mendaftarkan dua barang yang termasuk dalam kelompok barang sejenis i.c kelengkapan berpakaian seseorang dengan merek yang sama, dengan kelompok barang yang telah didaftarkan lebih dahulu, Mahkamah Agung menyimpulkan Tergugat I ingin dengan mudah mendapatkan keuntungan dengan cara menumpang keterkenalan satu merek yang telah ada dan beredar di masyarakat. Hal ini berarti Tergugat I dalam prilaku perdagangannya yaitu menggunakan merek perniagaan yang telah ada merupakan perbuatan yang bersifat tidak jujur, tidak patut atau tidak mempunyai itikad baik.

Dengan pertimbangan tersebut di atas, akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
- Mengadili:
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Mengadili Sendiri:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Penggugat sebagai pemakai pertama di Indonesia atas merek dagang “LOTTO” dan oleh karena itu, mempunyai hak tunggal/khusus untuk memakai merek tersebut di Indonesia.
3. Menyatakan bahwa merek “LOTTO” milik Tergugat I yaitu yang didaftarkan pada Tergugat II dengan nomor registrasi 87824 adalah sama dengan merek Penggugat baik dalam tulisan, ucapan kata, maupun suara, dan oleh karena itu dapat membingungkan, meragukan serta memperdaya khalayak ramai tentang asal-usul dan kualitas barang.
4. Menyatakan pendaftaran merek dengan registrasi 187824 dalam daftar umum atas nama Tergugat I batal, dengan segala akibat hukumnya.
5. Memerintahkan Tergugat II untuk mentaati putusan ini dengan membatalkan pendaftaran merek dengan nomor registrasi 197824 dalam daftar umum.
Kesimpulan dan saran
Jadi terdapat kekeliruan dari Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman bagian merek karena telah memberikan nomor registrasi kepada Hadi Darsono untuk menggunakan merek “LOTTO” yang sebenarnya telah terdaftar di Indonesia pada tahun tanggal 29/6/1976 dan 4-3-1985. Menurut data yang kami dapatkan, hal ini dikarenakan oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta Departmen Kehakiman kurang teliti dalam mengecek akan merek “LOTTO” tersebut.
Gugatan yang diajukan oleh Singapura kepada Mahkamah Agung mendapatkan keputusan yang terbaik untuk Singapura, karena dalam kasus ini Singapura memberikan bukti – bukti yang jelas kepada Mahkamah Agung dengan menunjukkan surat – surat , dan bukti pembayaran yang telah Ia dapatkan dari Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman bagian merek pada tahun 1976 dan 1985. Sementara Hadi Darsono didapati mempunyai maksud yang tidak baik, dengan mendaftarkan “LOTTO” kepada Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman bagian merek, Hadi Darsono ingin dengan mudah mendapatkan keuntungan dengan cara menumpang keterkenalan satu merek yang telah ada dan beredar di masyarakat. Hal ini berarti Hadi Darsono selaku Tergugat 1 dalam prilaku perdagangannya yaitu menggunakan merek perniagaan yang telah ada merupakan perbuatan yang bersifat tidak jujur, tidak patut atau tidak mempunyai itikad baik.
Untuk kedepannya diharapkan Pengadilan Negeri hendaknya bersikap lebih bijak dalam menentukan keputusan hukuman, dan hendaknya ditelaah lebih dalam lagi sebelum memutuskan bahwa Hadi Dasono tidak bersalah. Karena Pengadilan Negeri tidak melihat alasan yang tidak baik dari Hadi Darsono yaitu untu mengambil keuntungan yang dapat ia peroleh dari penjualan produk – produk “LOTTO” dengan menjual ketenaran nama “LOTTO” tersebut.
Bagian Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman (bagian merek) hendaknya lebih teliti dalam mengecek data – data merek yang mereka miliki agar tidak mengalami kesalahan yang sama lagi. Karena jika hal ini terus menerus terjadi akan menggangu ketertiban perdagangan yang berada di Indonesia. Dan akan semakin banyak orang Indonesia yang melakukan kecurangan sama seperti Hadi Darsono.

Sumber : 
http://mychocochips.blogspot.co.id/2012/04/contoh-kasus-hukum-perdagangan.html
http://fitriningsih5.blogspot.co.id/2015/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

Selasa, 29 Maret 2016

Pelanggaran Hak Cipta atas Buku

PT. Hikayat Indah (PT.HI) menerbitkan buku kumpulan cerita rakyat untuk anak-anak dalam bahasa Indonesia. Buku itu dijual secara luas di masyarakat. Setahun kemudian, PT. Dongeng Abadi (PT.DA) juga menerbitkan buku kumpulan serupa. Judul buku dan perwajahan PT.DA mirip dengan buku PT.HI, susunan cerita keduanya tidak sama, dan dalam buku PT.DA terdapat ilustrasi gambar sementara di buku terbitan PT .HI tidak ada. PT. HI tidak mendaftarkan ciptaannya ke Direktorat jenderal HKI. PT. HI berniat menggugat PT. DA dengan alasan PT. DA melanggar hak ciptanya
Kasus diatas telah terjadi pelanggaran hak cipta. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan hak cipta berupa judul buku dan perwajahan yang diterbitkan oleh PT. DA dengan yang diterbitkan oleh PT. HI dan sudah menimbulkan ketidak nyamanan oleh PT. HI sebagai penerbit buku lebih awal dengan judul dan perwajahan yg sama oleh oleh PT. DA.
Identifikasi adanya pelanggaran hak cipta adalah sebagai berikut,
1. Menurut pasal 11 ayat 2 UU. No 19/ 2002, menyebutkan bahwa ciptaan yang telah diterbitkan hak ciptanya dipegang oleh penerbit. Artinya PT. HI memegang hak cipta atas buku kumpulan cerita rakyat untuk anak-anak dalam bahasa Indonesia tersebut.
2. Adanya kesamaan Judul buku dan perwajahan buku yang diterbitkan oleh PT.DA dengan yg diterbitkan oleh PT.HI.
3. Pelanggaran hak cipta tidak harus terjadi secara keseluruhan tetapi juga terjadi apabila ada kesamaan sebagian.
4. Pelanggaran hak cipta berupa kesamaan Judul buku dan perwajahan buku yang diterbitkan oleh PT.DA dengan yg diterbitkan oleh PT.HI. adalah kesamaan inti dari sebuah hak cipta.
5. Adanya kesamaan Judul buku dan perwajahan buku yang diterbitkan oleh PT.DA dengan yg diterbitkan oleh PT.HI. tanpa adanya komunikasi dan kontrak oleh pihak PT. DA kepada pihak PT. HI sebagai pemegang hak cipta buku yang Judul buku dan perwajahan buku yang sama tersebut.

Fakta tidak didaftarkannya ciptaan PT. HI secara hukum tidak mempengaruhi posisi PT. HI tentang kepemilikan hak cipta. Karena hak cipta :
1. Perlindungan hukum hak cipta dengan secara otomatis saat ekspresi terwujud atau lahir tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan sesuai pasal 2 ayat 1 UU No.19 Tahun 2002.
2. Tanpa pendaftaran, pendaftaran hanya sebagai sarana pembuktian kepemilikan sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 huruf b dan pasal 12 ayat 2 & 3 pasal 35 ayat 4 UU No.19 Tahun 2002.
3. Pembuktian oleh pengadilan bisa dilakukan dengan proses cetak dan penggunakan awal oleh publik/ masyarakat. Dimana masyarakat sudah menikmati hasil hak cipta terbitan buku oleh PT. HI. Walaupun ini akan membutuhkan ekstra perjuangan oleh pihak PT. HI untuk memberikan pembuktian akan kepemilikan hak cipta dari buku terbitannya.
Analisis :
Sebaiknya kepada penerbit buku P.T dongeng abadi (P.T DA)  tidak menerbitkan buku dongeng serupa dari sampul buku hingga isi dari dongeng tersebut. Karena pelanggaran hak cipta tidak hanya terjadi karena adanya kesamaan secara keseluruhan tetapi karena adanya kesamaan sebagian. Adanya kesamaan Judul buku dan cover  buku yang diterbitkan oleh PT.DA dengan yg diterbitkan oleh PT.HI tanpa adanya komunikasi dan kontrak oleh pihak PT. DA kepada pihak PT. HI sebagai pemegang hak cipta buku yang memiliki  judul buku dan perwajahan buku yang sama tersebut.
Sumber :
https://ayudwie.wordpress.com/2011/02/27/kasus-hak-cipta-buku/

Minggu, 27 Maret 2016

Pelanggaran Hak Cipta atas Musik

 Lokasi perdagangan VCD/DVD/CD bajakan yang sangat populer di Mangga Dua. Daerah tersebut merupakan kawasan yang sangat strategis, karena terletak di salah satu pusat bisnis DKI Jakarta, yakni berada di sebelah Utara Jakarta.
Para pedagang VCD/DVD/CD bajakan ini latar belakang pendidikannya rata-rata berpendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah umum. Dari segi latar belakang sosial ekonominya mereka dapat dikategorikan sebagai masyarakat bawah. Pedagang VCD/DVD/CD bajakan sendiri sebagian besar berasal dari lingkungan sekitar dan selebihnya berasal dari luar daerah mangga dua.
Para pedagang VCD/DVD/CD bajakan rata-rata telah melakukan perdagangan di Mangga Dua lebih dari 3 (tiga) tahun. Lama waktu perdagangan VCD/DVD/CD bajakan di lingkungan ini biasanya dimulai dari pukul 09.30 berakhir pukul 17.00. Waktu biasanya dibagi menjadi satu atau dua shift. Sementara itu, yang menjaga kios sebagian besar mereka bukan dari pemilik kios tersebut.
Dalam transaksi perdagangan VCD/DVD/CD bajakan ini diketemukan ada banyak pihak yang terlibat. Pihak-pihak disini tidak hanya antara pedagang dengan pembeli/konsumen, tetapi ada pihak-pihak lainnya, yakni; supplier, keamanan, polisi dan petugas retribusi dan tukang parkir.
Dari praktek perdagangan VCD/DVD bajakan, maka sangat jelas bahwa praktek perdagangan VCD/DVD bajakan merupakan suatu tindakan pelanggaran hukum hak cipta. Pelanggaran hukum hak cipta ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat luas. Pelanggaran hak cipta bukan hanya merugikan “economic rights” dari pemilik atau pemegang hak, namun dalam skala yang lebih luas juga menimbulkan dampak negatif bagi pemerintah serta masyarakat luas, yang secara totalitas menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Menurut Ditjen Bea Cukai kerugian-kerugian tersebut dapat dibagi kepada 3 pihak, yakni:
1. Kerugian konsumen
Konsumen harus membayar mahal untuk barang palus, berkualitas rendah, mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa.
2. Kerugian masyarakat usaha, pemegang hak, pencipta
Turunnya nilai penjualan, kerugian finansial, kerugian moral (moral rights), rusaknya reputasi, menurunnya kreatifitas dan hilangnya insentif untuk melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi.
3. kerugian pemerintah, negara dan perekonomian
Terganggunya perekonomian nasional, hilangnya pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, rusaknya moralitas bangsa, terhambatnya alih tekonologi baru, keengganan PMA untuk invenstasi, terhambatnya akses pasar untuk komoditi ekspor, ancaman terhadap perdagangan internasional.
Dalam hal pelanggaran hukum hak cipta sendiri, bentuk pelanggaran ini ada yang bersifat keperdataan dan ada yang bersifat pidana. Dalam kaitannya dengan sifat keperdataan, dalam praktek perdagangan VCD/DVD bajakan ini pihak pedagang telah melanggar hak ekonomi dari pencipta/pemegang hak cipta. Pelanggaran hak ekonomi tersebut berupa pengumuman. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain.
Ada beberapa tujuan tatkala ada pihak yang merasa dirugikan meminta untuk dilakukan penetapan sementara. Tujuannya adalah:
Mencegah berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi.
Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta atau hak terkait tersebut guna menghidari terjadinya penghilangan barang bukti.
Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan, untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas hak cipta atau hak terkait dan hak pemohon tersebut memang sedang dilanggar.
Proses keperdataan ini tentunya berlaku juga bagi pelanggar hak cipta atas VCD/DVD bajakan. Akan tetapi, sangat jarang pihak pemegang hak cipta mengambil upaya hukum keperdataan ini. Ada beberapa alasan pihak pemegang hak cipta jarang melakukan upaya ini, di antaranya:  Pertama,proses keperdataan biasanya membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit; Kedua,proses keperdataan biasanya menuntut pemegang hak cipta untuk pro aktif di dalam menyelesaikan masalah. Hal ini tentu di anggap sebagai hal yang tidak produktif; Ketiga,sedikitnya atau minimnya pengetahuan pemegang hak cipta terhadap hukum hak cipta dan tidak terkecuali dalam konteks penyelesaian sengketa.
Atas dasar itu, maka tidak sedikit pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam pelanggaran atas musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD bajakan akhirnya menempuh upaya hukum pidana.
Di dalam hukum hak cipta telah dirumuskan beberapa tindakan/perbuatan yang dapat dikategorikan pelanggaran hak cipta. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 72 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9) UU Hak Cipta. Intinya beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adalah :
Perbuatan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan berupa perbanyakan dan pengumuman ciptaan atau pelanggaran atas hak moral pencipta.
Perbuatan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada pihak umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait.
Perbuatan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Perbuatan dengan sengaja melanggar dengan cara mengumumkan setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan serta ketertiban umum.
Perbuatan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20 atau Pasal 49 ayat (3).
Perbuatan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55.
Perbuatan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25.
Perbuatan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27.
Perbuatan sengaja melanggar Pasal 28.
Untuk permasalahan pelanggaran hak cipta dalam konteks pidananya dapat dikemukakan beberapa permasalahan juga yaitu; pertama,tindak pidana hak cipta apabila harus ditegakkan dalam pelanggaran hak cipta bagi pelanggar dipandang sebagai sebagai  ultimum remedium, meskipun undang-undang sendiri tidak menyatakan demikian, sehingga hal ini berdampak pada penegakan hukum hak cipta; kedua,adanya pemahaman yang terbatas dari aparat penegak hukum tatkala akan menerapkan tindak pidana hak cipta kepada para pelanggar hak cipta. Konsekuensi lebih jauh tindak pidana hak cipta terkadang tidak efektif adanya pemahaman yang terbatas dari aparat penegak hukum tatkala akan menerapkan tindak pidana hak cipta kepada para pelanggar hak cipta. Konsekuensi lebih jauh tindak pidana hak cipta terkadang tidak efektif.
Setelah memahami pelanggaran hak cipta dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pencipta/pemegang hak cipta serta permasalahannya, tentunya dapat diketahui bahwa pelanggaran hak cipta terjadi sesungguhnya bukan karena adanya beberapa permasalahan terkait dengan pelanggaran atas ketentuan hukum hak cipta saja. Tetapi ada permasalahan lainnya yang timbul dari pelanggaran hak cipta musik dan lagu dalam bentuk VCD/DVD bajakan. Hal-hal tersebut meliputi juga pada persoalan sosial ekonomi masyarakat.
Sebagaimana diketahui, bagi masyarakat Indonesia maraknya pelanggaran hak cipta tidak semata-mata dikarenakan tidak mengetahui pemberlakuan atas hukum hak cipta, tetapi dalih yang selama ini berkembang bahwa tindakan pelanggaran itu dilakukan mengingat tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah. Alhasil, dengan rendahnya tingkat ekonomi ini menjadikan masyarakat berani melakukan pelanggaran hukum hak cipta. Bagi mereka, prinsipnya bukan bagaimana hukum hak cipta dapat ditegakkan, tetapi yang lebih diutamakan adalah bagaimana kebutuhan ekonomi mereka dapat dipenuhi.

Contoh Pelanggaran Hak Cipta atas Lagu Band Wali

pembajakan karya cipta lagu ‘Cari Jodoh’ yang dipopulerkan Band Wali mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Malang, Jawa Timur, Rabu (1/5/2013).
Di sidang pertama itu, bos PT Nagaswara, Rahayu Kertawiguna, dihadirkan. Rahayu adalah bos dari label yang selama ini mendistribusikan karya-karya Faang dan kawan-kawannya itu. Selain bos PT Nagaswara, Rahayu hadir di persidangan sebagai saksi atas dugaan pembajakan yang dilakukan Malikul Akbar Atjil.
Kasus lagu ‘Cari Jodoh’ milik Band Wali, cerita Rahayu, pihaknya semula tidak tahu perbuatan yang dilakukan Atjil. “Jangankan memberi tahu, minta ijin memakai lagu ‘Cari Jodoh-nya’ Wali saja tidak dilakukan Atjil,” tutur Rahayu.
Menurut Rahayu, akibat aksi pembajakan lagu ‘Cari Jodoh’ itu, sebagai pemegang hak cipta karya tersebut, pihaknya dirugikan Atjil sebesar Rp 1 Milyar. Dalam laporannya yang dibuat tahun 2010, Rahayu menyertakan jumlah kerugian itu.
Selama Atjil belum diputus bersalah oleh majelis hakim PN Malang, jelas Rahayu, pihak distribusi Malaysia Incitech bisa terus menjual karya lagu ‘Cari Jodoh-nya’ Band Wali versi Atjil tanpa ada ijin yang jelas.
Perkara tersebut dimulai ketika lagu ‘Cari Jodoh’ karya cipta Band Wali dibajak di Malaysia tahun 2009. Setelah dilakukan penyidikan, Polda Jawa Timur menangkap Atjil di Surabaya pada awal tahun 2013. Atjil belakangan diketahui pernah menjadi aktivis Antipembajakan. Saat ditangkap, Atjil mengaku, Malaysia Incitech sudah membeli karya lagu ‘Cari Jodoh’ dari Wali Band. (kin)

Penutup

dapat menyimpulkan dua hal, yakni; Pertama,pelanggaran hak cipta terjadi disebabkan adanya permasalahan hukum hak cipta. Permasalahan tersebut mencakup pada permasalahan penyelesaian pelanggaran baik secara keperdataan maupun pidana. Di samping itu, permasalahan lainnya yang timbul dari pelanggaran hak cipta musik dan lagu yang dituangkan dalam bentuk VCD/DVD disebabkan persoalan sosial ekonomi masyarakat (baca: pelanggar).  Kedua,untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran hak cipta musik dan lagu yang dituangkan dalam bentuk VCD/DVD ini biasanya ditempuh oleh pemerintah dengan melakukan dua langkah, yakni; sosialisasi hukum hak cipta dan melakukan penegakan hukum hak cipta.

Reff:

http://www.tribunnews.com/seleb/2013/05/02/pelanggaran-hak-cipta-lagu-band-wali-disidangkan-di-malang

http://mildsend.wordpress.com/2013/06/26/contoh-pelanggaran-hak-cipta-atas-musik-dan-lagu/