Blue Spinning Frozen Snowflake

Minggu, 05 April 2015

Tugas 1 PKN


          1.    Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1.                  Pembunuhan masal (genisida)
2.                  Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3.                  Penyiksaan
4.                  Penghilangan orang secara paksa
5.                  Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1.                  Pemukulan
2.                  Penganiayaan
3.                  Pencemaran nama baik
4.                  Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5.                  Menghilangkan nyawa orang lain

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :

Kasus Marsinah

Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.

Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Kasus Munir ( Pejuang HAM )

Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.

Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.

Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.

Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa

Kasus Babeh Baekuni

Nama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia 50 tahun itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang dibuang di Jakarta, sebagian “dikubur” di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.

Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya dikenal di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak jalanan. Di mata anak-anak itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja dia menyediakan tempat menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta Timur tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. “Pernah suatu hari, teman saya bernama Diki, dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan lebih besar dibandingkan Diki.

Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam,” kata Anggi Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi dengan Babe terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab dengan seorang pria penjual rokok. “Anak-anak itu memanggilnya Babe,” kenang Anggi.

Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat hingga lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah hingga 15 anak. Kata Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek, rambut anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas habis di bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu dimandikan Babe.

Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu direntangkan. Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun cuci itu juga digunakan sebagai sampo. “Nunduk, nunduk,” Anggi masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan mencuci baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan rokok, dan kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan anakanak. Sarapan pagi sudah disediakan Babe.

Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe mengajak patungan membeli mi instan. “Dia juga memasok nasi goreng untuk kami,” kata Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. “Dia disayangi anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri,” kata Anggi yang masih punya orang tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga pernah tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil mengamen dikumpulkan dan diberikan kepada orang tua masing-masing.

Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua, termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka agar tidak tinggal bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari lima ribu rupiah. “Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung selama satu bulan,” kata Deni.

Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak jalanan termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan keterangannya. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga korban Babe bisa lebih 15 orang. Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak jalanan yang dikoleksi Babe.

“Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe),” kata Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu? “Polisi menunjukkan foto-foto korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak kenal,” kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian mendorong kepala korban ke depan, dan tangan kirinya menarik tali ke belakang.

“Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu meregang nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe,” kata Rangga. Jika korban sudah meninggal, barulah Babe menggauli bocah-bocah itu. “Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih,” kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal melakukan pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena itu, juga seolah selalu memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera terungkap.

Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air mineral. “Sehari-hari dia kan berdagang rokok, dan air mineral,” kata Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang bocah, yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang dikenal juga dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya. Dari mulut Babe, belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral. “Saya percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh,” kata Anggi. _ rangga prakoso.


2.    Kasus Kasus Demokrsasi di Indonesia
A.    Kasus yang diangkat
Kasus Angelina Sondakh korupsi korporasi
Semangat KPK menjadikan Angelina Sondakh sebagai pintu masuk pengungkapan kasus megakorupsi harus benar-benar terwujud. KPK tak boleh berhenti pada keterlibatan tersangka dalam kasus Wisma Atlet, tapi meluas pada bentuk korupsi korporasi.
Pengamat hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) DR Agus Surono menegaskan, sejak awal KPK telah menempatkan kasus Angie, sapaan akrab Angelina Sondakh, sebagai titik awal. Semangat tersebut sangatlah baik dan tepat. Tidak boleh lagi keluar dari track yang telah dipersiapkan.
’’Ini yang saya ingatkan. Kasus Angie bukanlah pada tindak pidana korupsi biasa. Tapi sudah bisa masuk pada kejahatan korporasi. Itu jauh lebih hebat lagi perkaranya,’’ ujar Agus di Jakarta, kemarin.
Menurut Agus, kejelian penyidik dalam menggali informasi sangatlah penting. Penyidik perlu melihat perkara ini sejak awal sebagai korupsi korporasi. Dugaan ini bisa menjadi pondasi bagi penyidik. Sebab, sejak kasus ini mencuat, sudah terlihat indikasi korupsi korporasi itu. Tak pantas KPK mengalihkan perkara sebatas korupsi biasa.
’’Memang tak mudah. Penyidik harus bekerja optimal. Keamanan informasi dari tersangka Angie pun harus dijaga,’’ tuturnya.
Dia menerangkan, hambatan mengungkap korupsi korporasi terletak pada keterangan tersangka. Dalam kasus ini sangat kental sekali muatan politiknya. Akibatnya tersangka yang ingin menyampaikan keterangan secara detil pun mendapat tekanan.
Doktor bidang hukum ini meyakini, penyidik pun tak lepas dari tekanan politik. Tujuannya mengarahkan kasus ini tidak berkembang pada lingkup korupsi korporasi. Meskipun bukti dan datanya sangat kuat mengarah pada kejahatan tersebut.
’’Kita sering melihat perkara korupsi sebatas pada jumlah tersangka. Padahal korupsi modern itu sudah lebih hebat dari deretan pelaku semata,’’ ungkapnya. Jika nanti KPK tergiring pada deretan pelaku saja, Agus sangat menyesali.
Prestasi KPK mengungkap kasus korupsi, bukan pada deretan pelaku. Tapi juga dari melihat model dan pola kejahatan yang dilakukan.
Untuk itulah, dia meminta penyidik KPK dapat secara detil melihat celah informasi yang ada.  Mendalami data dan bukti-bukti, mampu keluar dari tekanan politik dan tak terpengaruh pada situasi eksternal.
Apakah korupsi korporasi itu mengarah pada partai politik? Agus menjelaskan korupsi korporasi itu bisa terjadi pada lembaga apapun. Dengan bentuk organisasi yang beragam, termasuk partai politik.
Dalam tindak pidananya, dia mengakui tetap mengarah pada objek pelakunya. Yakni pengurus atau pimpinan dalam organisasi itu. Tidak pada lembaganya. Jika indikasi korupsi korporasi mengarahpada partai politik, apa sanksinya"
Agus menegaskan sanksi bagi korporasi yang terlibat korupsi bisa dibekukan. Jadi secara pandangan hukum ada dua yang mendapatkan sanksi, yakni pengelola organisasi dan organisasinya. ’’Kalau nanti partai terkait itu dibubarkan karena terlibat korupsi, itu memang risiko,’’ungkapnya.
Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia DR. Harsil Hartanto menambahkan, dalam pengungkapan kasus Angie ini kental harapan publik. Agar perkaranya tidak berhenti pada tindak korupsi, tapi juga pencucian uang.
Desakan itu, menurut dia, jadi dilema. Pertama, secara hukum KPK hanya diarahkan pada pengungkapan kasus korupsi, bukan tindak pidana pencucian uang. Kedua KPK harus melibatkan kejaksaan dalam menyeret tersangka dengan kasus tindak pidana pencucian uang.
Tentunya, lanjut dia, fokus pada tindak korupsi saja membuat putusannya menjadi tak memenuhi harapan publik. Sebab, vonis hakim sering tak memenuhi harapan publik. Nilai kerugian yang didapat pun tidak sebanding.
’’Kalau tersangka diseret dengan pasal pencucian uang, tentu perkaranya bisa meluas. Paling tidak vonis dan harta sitaan negara bisa lebih besar lagi,’’ paparnya.
Namun jika dipaksakan dalam kasus pencucian uang, dia menilai KPK harus terbuka dengan kejaksaan menyeret perkaranya. Artinya dakwaan itu harus dilimpahkan ke kejaksaan sebagai penuntut umumnya. ’’Di sinilah ada tekanan terjadi. Mau tidak kejaksaan menyeret pencucian uang dalam kasus Angie,’’ jelas Harsil.
Dia merasa peran Jaksa Agung untuk menggiring perkara Angie dalam tindak pencucian uang sangat diharapkan. Lembaga kejaksaan secara internal memiliki jaksa andal dalam pengungkapan pencucian uang. ”Jaksa Agung harus menunjuk jaksa itu. Saya tahu persis jaksa mana yang punya kemampuan itu,’’ imbuhnya.
Harsil merasa pengarahan kasus Angie bakal sangat kental. Tekanan poitik bakal gencar dihadapi KPK. Penyidik dan tersangka tak mungkin lepas dari tekanan tersebut. Semuanya membuat KPK menjadi kerdil dalam penggiringan perkara.
B.     Solusi dari kasus diatas
Tersangka kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Angelina Sondakh (Angie) harus mau mengungkap pelaku utama. Oleh karena itu, Angie sebaiknya menerima tawaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi justice collaborator untuk membongkar mafia anggaran.
Menurut kami Angie sebaiknya cerdas menyikapi tawaran untuk menjadi justice collaborator. Pasalnya, tawaran itu menjadi peluang untuk memulihkan nama baiknya yang sudah tercemar.   “Nasib yang dialami Angie saat ini sangat tragis, dari seorang Putri Indonesia yang terkenal cantik dan cerdas, seorang anggota DPR yang populer dan menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Utara, kini ditahan oleh KPK karena dugaan keterlibatan dalam sindikat korupsi di Banggar DPR. Dia menjadi ejekan dan cemoohan masyarakat. Sangat naif kalau Angie mengabaikan tawaran yang diberikan.  
Oleh karena itu,jalan satu-satunya adalah  Angie harus berbicara terus terang, sehingga hukumannya dapat dikurangi. Kalau Angie mau buka-bukaan, masih ada peluang bagi dia untuk kembali tampil di publik sesudah menjalani hukuman. Dan selain itu  Angie juga harus mau bekerja sama dengan KPK.
Dan selain itu ia juga seharusnyamenerima tawaran LPSK untuk menjadi justice collaborator.karena tawaran ini adalah tawaran yang realistis dan mencerminkan rasa keadilan. Pasalnya, LPSK meyakini bahwa Angie bukan otak atau dalang dari kasus korupsi Wisma Atlet maupun kasus korupsi di Kemdikbud. 
Angie diduga hanya ikut-ikutan dan terbawa dalam arus hedonisme dalam kasus ini. KPK dan LPSK mempercayai bahwa masih ada oknum lain di Banggar maupun di Komisi X, yang lebih berperan dan mendapatkan upeti lebih besar. Dengan memberikan penawaran itu, KPK terlihat ingin menangkap ‘kakap’ dalam kasus ini.
Jadi seharusnya angie itu harus bekerja sama dengan KPK dan LPSK mengenai sebuah kejujuran tentang kasus yang telah menyeret nama baiknya,karena dia hanya sebagai korban.yang diikut-ikutkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  
Kemarin, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya siap memberikan perlindungan kepada Angie sebagai justice collaborator (pelaku bekerja sama) jika politisi Partai Demokrat itu bersedia membongkar kasus korupsi yang membelitnya.  
Dan seharusnya mereka para KPK menangkap otak pelaku yang paling besar. Sehingga, penyelesaian suatu tindak pidana dapat tuntas diberantas dan tidak berhenti di pelaku teri. 
Selain membeberkan pelaku utama, Angie juga harus bisa mengembalikan sejumlah aset hasil kejahatan yang diperolehnya kepada negara. Hal itu sesuai dengan pengajuan LPSK terhadap revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan.
Saksi pelaku yang bekerja sama atau berdasarkan rekomendasi aparat penegak hukum terkait dapat mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK, apabila memenuhi syarat-syarat tersebut.    Kendati demikian, penetapan justice collaborator bagi Angie hanya dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari KPK sebagai pihak yang menangani kasus itu. Dikatakan, jika Angie menerima tawaran itu, LPSK akan memberikan perlindungan berupa fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus, penghargaan berupa keringanan tuntutan hukuman, dan remisi tambahan.
Angie seharusnya mengajukan dirinya menjadi justice collaborator untuk bisa n memberikan informasi serta data terkait kasus yang disangkakan,jika itu yang dilakukan oleh tersangka maka bukan tidak mungkin pihak KPK akan memberikan apresiasi.karena tidak mungkin pihak KPK yang akan mengajukan angie menjadi justice collaborator kalau bukan dirinya sendiri yang mengajukan.
Dalam rangka pengembangan penyidikan, KPK juga harus menjadwalkan pemeriksaan tiga saksi, yakni Gerhana Sianipar, manajer di salah satu perusahaan konsorsium Permai Grup, PT Exartech Technology Utama, karyawan Permai Grup Dewi Untari, dan Hidayat, sopir Yulianis. Tetapi, tiga orang itu tidak memenuhi panggilan KPK.
Jadi jalan satu-satunya dalam menyelesaikan kasus Angie ini adalah Angie harus mau berterus terang terhadap KPK dan kepada pihak yang telah di tugaskan dalam hal penyelesaian kasus ini,karena hanya dengan kejujurannya maka hukumannya dapat diringankan dan otak dari kasus ini dapat segera dijerat dengan hukuman yang setimpal,dan agar rakyat di Indonesia ini juga biar lebih cepat merasa puas dan lega dengan berakhirnya kasus korupsi ini dan bisa melihat orang-orang yang bersalah dijerat dengan hukuman yang seberat-beratnya sesuai dengan perbuatannya yang merugikan banyak masyarakat.
Dimana kejujurn masuk kedalam pandangan dan pegangan hidup bersama dalam norma dan unsure pokok yang dibutuhkan oleh tatanan hidup yang demokratis yang berbunyi “norma kejujuran dalam permufakatan .suasana masyarakat yang demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang memberikan keuntungan semua pihak
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar