Pada dasarnya, laki-laki dan
perempuan adalah sama. Keduanya sama-sama makhluk Tuhan yang diciptakan untuk
saling melengkapi dalam kehidupan. Meskipun dalam segi fisik terdapat
perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak lain hanya sebagai pembeda dalam segi
fisik saja pula. Karena fungsi dan peran keduanya dalam kehidupan sosial
khususnya, adalah sama. Untuk itu hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan pun
harusnya tidak dibeda-bedakan. Namun yang terjadi pada umumnya adalah banyak
sekali hal yang dibeda-bedakan berdasarkan perbedaan laki-laki dan perempuan,
baik dalam wilayah pribadi seperti peran dalam keluarga hingga peran politik
dalam kehidupan bernegara. Maka mulailah timbul istilah gender dan diskriminasi
gender itu sendiri.
Diskriminasi gender banyak terjadi dalam setiap bidang kehidupan
bermasyarakat. Mulai dari pengkelasan peran dalam pekerjaan, jabatan publik,
hingga pemeran panggung politik. Mulai dari zaman terdahulu hingga sekarang.
Dan memang pada umumnya yang menjadi korban diskriminasi gender ini adalah kaum
perempuan.
Sebagaimana dikutip dari Alison Scott, seorang ahli sosiologi Inggris, ia
melihat berbagai bentuk diskriminasi terhdap perempuan dalam empat bentuk
yaitu: (1). Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis
kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari
pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang
memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang
terampil, (3) Proses feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan pada jenis
pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang semata-mata
dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja. (4) Proses ketimpangan
ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk di antaranya perbedaan upah.
Faktor
lainnya juga muncul dari sebuah anggapan yang pada umumnya lumrah dimasyarakat,
khususnya masyarakat tradisional yaitu anggapan bahwa suatu peran yang
dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Juga anggapan
bahwa perempuan itu irrasional atau emosional serta paradigma maskulin dan
feminsm menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pimpinan suatu
organisasi atau bahkan suatu negara. Anggapan inilah salah satu praktik nyata
dari bentuk diskriminasi Stereotipe yang sudah penulis sebutkan pada bagian
sebelumnya.
Setelah sekian lama perempuan berada dalam kondisi terdeskriminasikan,
mata hati dunia mulai terbuka dengan banyaknya negara yang menyadari pentingnya
kesetaraan bagi kaum perempuan. Lebih jauh lagi Pada tahun 1990 PBB mengadakan
Konvensi tentang Perlindungan Hak-hak seluruh Pekerja Migran & Anggota
Keluarganya (Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Their Families) yang di Indonesia setelah pada tahun 1960,
dicetuskanlah UU “Upah Sama untuk Kerja yang Sama” yang dirasa kurang bisa
melindungi perempuan, hasil konvensi tersebut disahkan menajdi Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2012[1].
Beberapa regulasi di atas menunjukkan bahwa memang isu diskriminasi
gender adalah isu yang serius, yang harus disejajarkan dengan kasus
diskriminasi agama, ras, dan lainnya. Sebagaimana hasil survey Lingkar Survey
Indonesia (LSI) yang dirilis tahun 2012, diskriminasi gender di indonesia
mencapai 15% dari total seluruh kasus diskriminasi di Indonesia. Namun lagi,
dengan keterbatasan, penulis belum dapat menghadirkan contoh-contoh dari kasus
diskriminasi gender tersebut berkenaan dengan kelengkapan data dan keabsahan
referensi yang masih penulis ragukan. Namun bagaimanapun satu hal yang harus
kita sadari bahwa sebagai bangsa yang mendambakan kehidupan yang berkeadilan,
maka kita harus memulainya dengan bersikap adil terhadap perempuan yang menjadi
pokopk bahasan utama dalam bagian ini.
Namun sebagai bangsa Indonesia, kita boleh berbangga, karena khusus di bidang
politik, Indonesia bisa dibilang lebih baik dalam mewujudkan kesetaraan hak
bagi perempuan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik, bahkan
jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa sekalipun.
Sejak
pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955, wanita sudah mempunyai hak yang
sama di dalam tatanan politik Indonesia. Sedangkan bangsa di Eropa dan Amerika
harus menunggu puluhan hingga ratusan tahun sampai akhirnya mendapat kesempatan
untuk ikut memilih di pemilihan umum.
Dengan
begitu, kita sama-sama berharap agar kesetaraan yang benar-benar tepat dan
berkeadilan dalam geneder di Indonesia akan terus tumbuh dan berkembang dalam
setiap tatanan kehidupan masyarakat kita dengan menjunjung tinggi kesamaan hak
sebagai sesama warga negara.
Ketidakadilan Gender Harus
Dihentikan
Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas
berat, karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, dimana kita
masing-masing terlibat secara emosional. Banyak terjadi perlawanan manakala
perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan, karena menggugat masalah gender
sesungguhnya juga berarti menggugat privilege yang kita
dapatkan dari adanya ketidakadilan gender. Persoalannya, spektrum ketidakadilan
gender sangat luas, mulai yang ada di kepala dan di dalam keyakinan kita
masing-masing, sampai urusan negara.
Dengan demikian bila kita memikirkan jalan
keluar, pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serempak.
Pertama-pertama perlu upaya-upaya bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan
masalah-masalah praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah berikutnya
adalah usaha jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan cara strategis
dalam rangka memerangi ketidakadilan.
Dari segi pemecahan praktis jangka pendek,
dapat dilakukan upaya-upaya program aksi yang melibatkan perempuan
agar mereka mampu membatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal
mengatasi masalah marginalisasi perempuan di pelbagai projek peningkatan pendapatan
kaum perempuan, perlu melibatkan kaum perempuan dalam program pengembangan
masyarakat, serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat
dan menjalankan kekuasaan di sektor publik.
Akan halnya yang menyangkut subordinasi
perempuan, perlu diupayakan pelaksanaan pendidikan dan mengaktifkan berbagai
organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek.
Untuk menghentikan masalah kekerasan,
pelecehan dan pelbagai stereotype terhadap kaum perempuan, suatu
aksi jangka pendek juga perlu mulai digalakkan. Kaum perempuan
sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang
melakukan kekekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan
tersebut terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan
berarti mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk melanggengkannya.
Pelaku penyiksaaan, pemerkosaaan, dan pelecehan seringkali salah kaprah bahwa
ketidaktegasan penolakan dianggapnya karena diam-diam perempuan menyukainya.
Perlu kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka saling
membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah
kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan, dan segala
bentuk yang merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan,
maka usaha untk menghentikan secara bersama perlu digalakkan.
Termasuk di dalam kegiatan praktis jangka
pendek adalah mempelajari pelbagai teknik oleh kaum perempuan sendiri guna
menghentikan kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan. Misalnya mulai membiasakan
diri mencatat setiap kejadian dalam buku harian, termasuk sikap penolakan dan
response yang diterima, secara jelas kapan dan dimana. Catatan ini kelak akan
berguna jika peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha tersebut
menyuarakan unek-unek ke kolom “surat pembaca” perlu diintensifkan.
Usaha ini tidak saja memiliki dimensi praktis jangka pendek tetapi juga sebagai
upaya pendidikan dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan
terhadap kaum perempuan bagi masyarakat luas. Secara praktis dalam surat-surat
itu harus tersirat semacam ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak
segera dihentikan, maka kejahatan semacam itu bisa dan akan dilaporkan ke
penguasa pada tingkatan lebih atas. Kesankah bahwa anda tidak sendiri melainkan
suatu kelompok perempuan yang tengah menyadari hal itu. Suatu kelompok atau
organisasi lebih sulit diintimidasi ketimbang individu.
Usaha perjuangan strategis jangka panjang
perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Mengingat usaha-usaha
praktis diatasseringkali justru berhenti dan tidak berdaya hasil karena
hambatan ideologis, misalnya bias gender, sehingga sistem masyarakat justru
akan menyalahkan korbannya. Maka perjuangan strategis ini meliputi pelbagai peperangan
ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan terebut misalnya dengan
melancarkan kampanye kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk
menghentikan pelbagai bentuk ketidakadilan gender. Upaya strategis
itu perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi
tentang pelbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya baik
di masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga. Bahkan kajian ini selanjutnya
dapat dipakai untuk melakukan advokasi guna mencapai perubahan kebijakan ,
hukum, dan aturan pemerintah yang tidak adil tehadap kaum perempuan.
Sumber
: