Blue Spinning Frozen Snowflake

Senin, 28 Desember 2015

Stop Pemiskinan Perempuan

Tema : Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme





Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya sama-sama makhluk Tuhan yang diciptakan untuk saling melengkapi dalam kehidupan. Meskipun dalam segi fisik terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak lain hanya sebagai pembeda dalam segi fisik saja pula. Karena fungsi dan peran keduanya dalam kehidupan sosial khususnya, adalah sama. Untuk itu hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan pun harusnya tidak dibeda-bedakan. Namun yang terjadi pada umumnya adalah banyak sekali hal yang dibeda-bedakan berdasarkan perbedaan laki-laki dan perempuan, baik dalam wilayah pribadi seperti peran dalam keluarga hingga peran politik dalam kehidupan bernegara. Maka mulailah timbul istilah gender dan diskriminasi gender itu sendiri.
       Diskriminasi gender banyak terjadi dalam setiap bidang kehidupan bermasyarakat. Mulai dari pengkelasan peran dalam pekerjaan, jabatan publik, hingga pemeran panggung politik. Mulai dari zaman terdahulu hingga sekarang. Dan memang pada umumnya yang menjadi korban diskriminasi gender ini adalah kaum perempuan.
       Sebagaimana dikutip dari Alison Scott, seorang ahli sosiologi Inggris, ia melihat berbagai bentuk diskriminasi terhdap perempuan dalam empat bentuk yaitu: (1). Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang terampil, (3) Proses feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang semata-mata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja. (4) Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk di antaranya perbedaan upah.
     Faktor lainnya juga muncul dari sebuah anggapan yang pada umumnya lumrah dimasyarakat, khususnya masyarakat tradisional yaitu anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Juga anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional serta paradigma maskulin dan feminsm menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pimpinan suatu organisasi atau bahkan suatu negara. Anggapan inilah salah satu praktik nyata dari bentuk diskriminasi Stereotipe yang sudah penulis sebutkan pada bagian sebelumnya.
       Setelah sekian lama perempuan berada dalam kondisi terdeskriminasikan, mata hati dunia mulai terbuka dengan banyaknya negara yang menyadari pentingnya kesetaraan bagi kaum perempuan. Lebih jauh lagi Pada tahun 1990 PBB mengadakan Konvensi tentang Perlindungan Hak-hak seluruh Pekerja Migran & Anggota Keluarganya (Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Their Families) yang di Indonesia setelah pada tahun 1960, dicetuskanlah UU “Upah Sama untuk Kerja yang Sama” yang dirasa kurang bisa melindungi perempuan, hasil konvensi tersebut disahkan menajdi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012[1].
       Beberapa regulasi di atas menunjukkan bahwa memang isu diskriminasi gender adalah isu yang serius, yang harus disejajarkan dengan kasus diskriminasi agama, ras, dan lainnya. Sebagaimana hasil survey Lingkar Survey Indonesia (LSI) yang dirilis tahun 2012, diskriminasi gender di indonesia mencapai 15% dari total seluruh kasus diskriminasi di Indonesia. Namun lagi, dengan keterbatasan, penulis belum dapat menghadirkan contoh-contoh dari kasus diskriminasi gender tersebut berkenaan dengan kelengkapan data dan keabsahan referensi yang masih penulis ragukan. Namun bagaimanapun satu hal yang harus kita sadari bahwa sebagai bangsa yang mendambakan kehidupan yang berkeadilan, maka kita harus memulainya dengan bersikap adil terhadap perempuan yang menjadi pokopk bahasan utama dalam bagian ini.
        Namun sebagai bangsa Indonesia, kita boleh berbangga, karena khusus di bidang politik, Indonesia bisa dibilang lebih baik dalam mewujudkan kesetaraan hak bagi perempuan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa sekalipun.
      Sejak pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955, wanita sudah mempunyai hak yang sama di dalam tatanan politik Indonesia. Sedangkan bangsa di Eropa dan Amerika harus menunggu puluhan hingga ratusan tahun sampai akhirnya mendapat kesempatan untuk ikut memilih di pemilihan umum.
      Dengan begitu, kita sama-sama berharap agar kesetaraan yang benar-benar tepat dan berkeadilan dalam geneder di Indonesia akan terus tumbuh dan berkembang dalam setiap tatanan kehidupan masyarakat kita dengan menjunjung tinggi kesamaan hak sebagai sesama warga negara.

Ketidakadilan Gender Harus Dihentikan
Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat, karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, dimana kita masing-masing terlibat secara emosional. Banyak terjadi perlawanan manakala perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan, karena menggugat masalah gender sesungguhnya juga berarti menggugat privilege yang kita dapatkan dari adanya ketidakadilan gender. Persoalannya, spektrum ketidakadilan gender sangat luas, mulai yang ada di kepala dan di dalam keyakinan kita masing-masing, sampai urusan negara.
Dengan demikian bila kita memikirkan jalan keluar, pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serempak. Pertama-pertama perlu upaya-upaya bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan masalah-masalah praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah berikutnya adalah usaha jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan.
Dari segi pemecahan praktis jangka pendek, dapat dilakukan upaya-upaya program aksi yang melibatkan perempuan agar  mereka mampu membatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah marginalisasi perempuan di pelbagai projek peningkatan pendapatan kaum perempuan, perlu melibatkan kaum perempuan dalam program pengembangan masyarakat, serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dan menjalankan kekuasaan di sektor publik.
Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan, perlu diupayakan pelaksanaan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan pelbagai stereotype terhadap kaum perempuan, suatu aksi  jangka pendek juga perlu mulai digalakkan. Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan berarti mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk melanggengkannya. Pelaku penyiksaaan, pemerkosaaan, dan pelecehan seringkali salah kaprah bahwa ketidaktegasan penolakan dianggapnya karena diam-diam perempuan menyukainya. Perlu kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan, dan segala bentuk yang merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan, maka usaha untk menghentikan secara bersama perlu digalakkan.
Termasuk di dalam kegiatan praktis jangka pendek adalah mempelajari pelbagai teknik oleh kaum perempuan sendiri guna menghentikan kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan. Misalnya mulai membiasakan diri mencatat setiap kejadian dalam buku harian, termasuk sikap penolakan dan response yang diterima, secara jelas kapan dan dimana. Catatan ini kelak akan berguna jika peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha tersebut menyuarakan  unek-unek ke kolom “surat pembaca” perlu diintensifkan. Usaha ini tidak saja memiliki dimensi praktis jangka pendek tetapi juga sebagai upaya pendidikan dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum perempuan bagi masyarakat luas. Secara praktis dalam surat-surat itu harus tersirat semacam ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak segera dihentikan, maka kejahatan semacam itu bisa dan akan dilaporkan ke penguasa pada tingkatan lebih atas. Kesankah bahwa anda tidak sendiri melainkan suatu kelompok perempuan yang tengah menyadari hal itu. Suatu kelompok atau organisasi lebih sulit diintimidasi ketimbang individu.
Usaha perjuangan strategis jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Mengingat usaha-usaha praktis diatasseringkali justru berhenti dan tidak berdaya hasil karena hambatan ideologis, misalnya bias gender, sehingga sistem masyarakat justru akan menyalahkan korbannya. Maka perjuangan strategis ini meliputi pelbagai peperangan ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan terebut misalnya dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk menghentikan pelbagai bentuk ketidakadilan gender. Upaya  strategis itu perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi tentang  pelbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya baik di masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga. Bahkan kajian ini selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan advokasi guna mencapai perubahan kebijakan , hukum, dan aturan pemerintah yang tidak adil tehadap kaum perempuan.

Sumber :


1 komentar: